Seperti
kita tahu, sampai jaman Orba orang Kanekes suka disamakan dengan suku-suku
primitif yang tinggal di pedalaman. Tinggal di tengah rimba yang jauh dari
peradaban modern. Dianggap liar dan terbelakang. Tak
ada listrik, tak ada sekolah, tak ada bangunan-bangunan permanen, tinggal di
belantara hutan dan hidup dengan cuma mengandalkan berladang. Stigma yang khas
pada zaman di mana terminologi pembangunan didewa-dewakan.
Stigma
baru berubah setelah para antropolog menemukan kearifan lokal yang justru tak
dimiliki orang "beradab". Sebaliknya kita yang merasa telah beradab dan maju oleh pembangunan justru bertindak destruktif dan
senang
merusak lingkungan. Kita kehilangan kearifan lokal. Justru
kearifan-kearifan itu dimiliki oleh kelompok orang yang kita sebut terbelakang. Seiring dengan
munculnya kesadaran terhadap isu-isu global,
komunitas yang berpegang teguh pada tradisi seperti dilakukan Urang Kanekes
mulai dilirik.
“Lojor teu
meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, gunung teu meunang dilebur,
lebak teu meunang dirusak, buyut teu meunang dirobah” adalah pikukuh Urang
Kanekes yang terkenal. Pikukuh itu mendedahkan sikap Urang Kanekes yang dengan
komitmen dan disiplin tinggi memelihara ajaran nenek moyang. Aturan (buyut)
jangan sekali-kali dipermainkan. Yang panjang tak bisa dipotong. Yang pendek
tak bisa disambung. Gunung harus dijaga, lembah jangan dirusak. Pikukuh ini
berbanding terbalik dengan kehidupan orang-orang modern yang seringkali
mempermaikan hukum, mengubah-ubah aturan, meratakan hutan dan gunung, mencemari
sungai dan lembah.
Bagi orang yang tidak mengenal secara dekat dengan
Urang Kanekes mungkin ada yang menganggap pikukuh mereka berlebihan. Cobalah
sekali-kali berkunjung ke Kaduketug. Lalu menyusuri jalan setapak ke Gajeboh.
Jika lelah tak harus masuk lebih dalam ke Cibeo, Cikertawana, atau Cikeusik.
Itulah wilayah Kanekes di Banten Selatan di mana akan kita temukan komunitas
tradisional yang kemudian disebut orang Baduy. Wilayah pegunungan, yang jika
kita susuri lebih ke dalam akan kita temui eksotisitas alam yang begitu
perawan.
Saya sendiri begitu mengagumi mereka dari persfektif
kebudayaan. Ya, mungkin, jika dilihat dari kacamata modernitas mereka serba
tertinggal. Tetapi seringkali slogan orang-orang modern yang acapkali hanya lips service, faktanya kita temukan di
Kanekes. Karena alasan itulah, saya berpikir Urang Kanekes sebenarnya
laboratorium alam dan manusia di mana kita bisa mengevaluasi diri sendiri.
Kanekes adalah tempat bercermin orang-orang modern untuk mengukur apa yang
sudah diperbuatnya.
Satu hari saya mengikuti upacara seba Urang Kanekes.
Upacara tahunan setelah mereka melaksanakan puasa Kawalu. Kebetulan yang saya
saksikan adalah Seba Ageung, di mana hampir seluruh lelaki di wilayah Tangtu,
Panamping, dan Dangka serempak mengikuti seba (persembahan) dengan jalan kaki
untuk bertemu Ibu dan Bapa Ageung. Yang dimaksud Ibu Ageung adalah Bupati Lebak
yang berkantor di Rangkasbitung dan Bapa Ageung adalah Gubernur Banten yang
berkantor di Serang.
Seperti kita tahu, ketika berjalan orang Kanekes tidak
pernah bergerombol. Selamanya berbaris ke belakang. Ratusan bahkan ribuan orang
berjalan kaki dengan cara seperti itu. Konon kebiasaan ini untuk menghidari
obrolan di jalan. Mereka juga sangat dilarang untuk menaiki kendaraan, terutama
bagi mereka yang berasal dari wilayah Tangtu (Baduy Jero). Pun demikian ketika
mereka sampai di pendopo kabupaten atau gubernuran. Ratusan bahkan ribuan orang
duduk berdesakan untuk diterima Ibu dan Bapa Ageung tanpa bicara. Hening!
Melihat pemandangan ini, tiba-tiba saya ingat slogan pada iklan rokok: Talk Less, Do More!
Kebiasaan mereka yang tak suka banyak bicara juga
ditemui di sepanjang perkampungan Kanekes di kawasan hutan Leuwidamar. Dari
Kaduketug sampai Gajeboh yang merupakan perbatan atawa wilayah Tangtu dan
Panamping (luar dan dalam), banyak kita temui permukiman. Di sana, dapat kita
temui orang-orang menenun di tepas rumah, atau berjalan memikul hasil bumi,
tanpa bicara. Jaro Dainah, salah seorang pimpinan Kanekes untuk pemerintahan,
mengatakan: jika sedang bekerja orang Kanekes memang dilarang banyak bicara. Cacahan aya waktuna! (mengobrol itu ada
waktunya).
Atas semua kearifan lokal yang dipelihara melalui buyut (aturan hukum lokal) tak pernah
kita dengar ada bencana besar di Kanekes. Hutan terpelihara, lembah dijaga.
Ketahanan pangan mereka juga luar biasa karena persediaan pangan di leuit tak pernah susut. Saat pandemi
melanda negeri kita dan dunia, di mana tingkat kematian begitu tinggi, di
Kanekes justru zero kasus.
Jadi, siapa sebenarnya yang terbelakang? Kita yang
berpendidikan maju, yang menikmati hasil hingar bingar pembangunan, justru
setiap waktu dihantui bencana alam karena rusaknya lingkungan, bencana
kelaparan, atau bencana pandemi seperti saat ini. Sementara orang-orang di
kampung adat, ternyata lebih tanggung dan kuat.
Maka dari itu, saya ikut marah ketika mereka disepelekan!
Penulis: Darpan