Menjelang HJG Ke-211 : Mengenang Bangunan Bersejarah Garut, Antara Kehilangan dan Harapan Pelestarian
GARUT, Garut Kota - Kabupaten Garut, yang dikenal sebagai Swiss Van Java, mempertahankan pesonanya sebagai destinasi pariwisata berkat keindahan alam dan warisan kolonialnya. Sejarawan dan budayawan Garut, Warjita, mengungkapkan bahwa keelokan Garut dengan ciri khas uniknya telah menarik perhatian orang Eropa sejak zaman kolonial dengan turut mempromosikan keelokannya.
Sebelum Bandung meraih puncak popularitas, Garut dianggap sebagai jantungnya priangan oleh penjelajah Belanda berkat keindahan geografisnya dan perkebunan Belanda yang memikat menjadi magnet bagi pengunjung dari manca negara.
"Juga adalah dengan banyaknya perusahaan-perusahaan Belanda ya yang perkebunan itu ya, perkebunan teh, karet, kina, segala macam ya," ungkap Warjita.
Warjita menyoroti kolaborasi unik antara gaya bangunan Eropa dan tradisional Sunda (Indis) yang masih berdiri kokoh hongga kini, seperti Pamengkang dan Gedung Kantor Disparbud, Kantor Pos Garut, dan Gedung BPKAD di Jalan Kian Santang.
“Coba lihat saja yang namanya bangunan-bangunan itu kan pasti ada tinggi, kemudian ada suhunannya (atap), itulah kolaborasi dengan bangunan Sunda,” tambah Warjita, Jum'at (9/2/2024).
Tak hanya itu, Warjita juga menyoroti peran alun-alun Garut yang menjadi pusat kehidupan kota ataupun pemerintahan. Alun-alun ini, yang sudah ada sebelum masa kolonial, menjadi saksi bisu keberlanjutan pusat pemerintahan tradisional dari Kesultanan Agung Mataram hingga masa kolonial Belanda.
“Nah itu adalah konsep hebatnya Garut itu, jadi masih tersisa warisan kolonial itu, di dalam arti sebetulnya kalau alun-alun bukan warisan kolonial, sudah ada, cuman oleh masa kolonial tidak dihilangkan maka dikolaborasikan," ucapnya.
Bangunan heritage, salah satunya yaitu area komplek Alun-Alun dan Pendopo, sebelumnya telah mulai dibangun pada tanggal 16 Februari 1813 pada zaman pemerintahan Gubernur Jendral Raffles. Kemudian, pembangunan selesai pada tahun 1821, dan area pendopo mulai digunakan di masa Bupati Garut atau Bupati Limbangan pertama, yaitu RAA Adiwijaya.
Namun, tidak semua warisan kolonial Garut beruntung. Gedung Jangkung, milik pengusaha dodol Garut pertama, H. Umar, pionir dodol garut, roboh akibat gempa besar pada 1979-1980. Meskipun demikian, upaya pelestarian terus dilakukan, dengan banyak bangunan bersejarah ditetapkan sebagai cagar budaya.
Saat ini, banyak bangunan heritage Garut yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Warjita bersama dengan Disparbud Kabupaten Garut, saat ini tengah mengusahakan beberapa bangunan bersejarah di Kabupaten Garut untuk dijadikan sebagai cagar budaya.
Dalam peringatan Hari Jadi ke - 211 Kabupaten, Warjita menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pelestarian warisan sejarah.
Di sisi lain, Darpan Winangun, seorang pemerhati sejarah Garut, juga sebagai Ketua Dewan Pembina FK MGMP Bahasa Sunda SMA Provinsi Jawa Barat, dan Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Pendidik Bahasa Daerah Indonesia (PPBDI), menyayangkan kondisi beberapa bangunan bersejarah yang semakin memudar. Darpan menyoroti keberadaan bangunan-bangunan bersejarah yang semestinya menjadi saksi bisu perjalanan kota ini, namun sayangnya banyak yang telah terkikis oleh waktu dan modernisasi.
"Yang masih ada sekitar alun-alun itu gedung Bupati dan Babancong, itu relatif terpelihara bangunannya," ucap Darpan.
Meskipun begitu ia mengpresiasi upaya pemeliharaan beberapa bangunan, seperti Stasiun Garut yang tetap utuh dan menjadi bagian dari warisan sejarah yang dijaga oleh PT. KAI. Di lain hal, sangat disayangkan, Pecinan Garut mengalami perubahan cepat, sehingga kehilangan karakteristik khasnya.
"Pecinan itu sekarang perubahannya sangat cepat, kalau saya lihat tahun 80-an itu bangunan-bangunan khas Chinanya itu masih di belakang Klenteng itu masih kelihatan suasana Chinanya, tapi sekarang di bagian depannya terutama sudah banyak diubah," ungkapnya.
Dia juga mengisahkan upaya gagal untuk mempertahankan cerobong PTG (Pabrik Tekstil Garut), sebagai landmark, kini telah musnah tanpa meninggalkan bekas, menyusul upayanya tanpa dukungan pemilik dan kesadaran kolektif.
"Saya pernah dan kawan-kawan pernah menginisiasi agar cerobong itu tidak dirobohkan, tapi karena kepemilikannya juga sudah beralih menjadi milik swasta, susah bagi kita untuk mempertahankan itu tergantung pemiliknya," kata Darpan.
Menyoroti kurangnya kesadaran akan heritage di Garut, Darpan merumuskan dua harapan penting. Pertama, pembentukan komunitas yang mampu memperjuangkan pelestarian heritage Garut. Kedua, perlunya heritage ini masuk dalam pendataan cagar budaya, yang didukung oleh regulasi yang jelas.
Baginya, heritage bukan hanya tentang bangunan, melainkan kisah sejarah yang menjadi penanda kejayaan Garut di masa lalu.
"Bangunan cagar budaya atau heritage ini punya nilai sejarah yang penting. Harapannya, agar heritage ini bisa menjadi penanda bahwa Garut ini pernah jaya, pernah unggul di masa lalu," ujarnya.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Garut, Luna Aviantrini, Senin (12/2/2024), menyatakan, beberapa langkah telah diambil pemerintah dalam upaya pelestarian bangunan Cagar Budaya di Garut, yaitu :
1. Pendataan dan Inventarisasi :
Langkah pertama adalah melakukan pendataan atau inventarisasi bangunan Cagar Budaya untuk menunjang upaya pelestarian budaya. Kolaborasi diperlukan untuk memetakan warisan budaya yang belum tercatat, hilang, masih ada, hingga yang nyaris punah.
2. Penetapan Cagar Budaya :
Setelah adanya rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya, pemerintah akan mengusulkan penetapan Cagar Budaya baik kepada Pemerintah Provinsi maupun ke Pemerintah melalui Kementerian terkait.
3. Pemeliharaan dan Juru Pelihara :
Melakukan pemeliharaan dengan penetapan Juru Pelihara (Jupel) di setiap Cagar Budaya. Jupel bertanggung jawab untuk merawat, memelihara, dan menjaga keamanan cagar budaya sesuai dengan tugas dan fungsi yang diatur dalam UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Meski demikian, Luna juga mengungkapkan beberapa hambatan yang dihadapi dalam upaya pelestarian Cagar Budaya di Garut, yakni :
1. Kurangnya Tenaga Ahli :
Langkanya tenaga ahli atau pegawai yang memiliki kompetensi di bidang kebudayaan, terutama terkait kesejarahan dan kepurbakalaan di Garut.
2. Kurangnya Sosialisasi :
Belum maksimalnya sosialisasi UU/Perda atau Perbup bangunan Cagar Budaya atau aturan lain terkait pelestarian cagar budaya kepada masyarakat, sehingga kesadaran masyarakat terhadap pentingnya keberadaan Cagar Budaya kurang.
3. Kerja Sama yang Perlu Ditingkatkan :
Kerja sama dengan lembaga-lembaga pelestarian budaya dan masyarakat setempat masih perlu ditingkatkan, termasuk kolaborasi dengan ahli sejarah, arkeolog, dan antropolog.
4. Kurangnya Sosialisasi Aktivitas :
Kurangnya sosialisasi akan pentingnya pelestarian Cagar Budaya melalui kegiatan seperti seminar, dialog, simposium, workshop, dan lain-lain kepada generasi muda.
5. Pembangunan Kota yang Pesat :
Pembangunan kota yang pesat mengubah fungsi dan makna Cagar Budaya yang ada, membuat sejumlah Cagar Budaya berubah menjadi kebudayaan terancam hilang, bahkan punah. Contoh : (PTG, Gedong Jangkung, Padang Boelan, Rumah Tinggal Lasminingrat) itu merupakan contoh Cagar Budaya yan sudah berubah fungsi.
6. Perencanaan yang Perlu Ditingkatkan :
Perencanaan pelestarian bangunan bersejarah secara terintegrasi dan berkesinambungan antara pengampu kebijakan masih perlu ditingkatkan.
Betkaitan hal itu, Luna menekankan pentingnya mengatasi hambatan tersebut agar upaya pelestarian Cagar Budaya di Garut dapat berjalan dengan optimal.
Penulis : Nindi Nurdiyanti
Penyunting : Yanyan Agus Supianto