Naluri saya untuk menulis tentang isu fakta yang marak belakangan ini, membawa saya untuk sedikit berhalusinasi. Bukan ingin mengorek, mengoreksi, bahkan membantah satu-dua berita seputar Covid-19. Bahkan saya tidak tertarik dengan angka atau jumlah kasus, kematian dan kesembuhan. Bukan, bukan itu. Saya tertarik justru dengan ditunjuknya sang juru bicara, khusus untuk penanganan kasus yang menjadi trending topic dunia, Corona. Juru bicara adalah bagian dari manajemen isu, setidaknya menurut halusinasiku, lagi-lagi.
Bila menoleh apa itu manajemen isu. Ia adalah sebuah proses proaktif dalam mengelola isu-isu, tren atau peristiwa potensial, eksternal dan internal, yang memiliki dampak baik negatif maupun positif terhadap perusahaan, organisasi, atau negara, dan bahkan menjadikan isu sebagai peluang meningkatkan reputasinya (Aryani, 2014: 5). Berbeda dengan manajemen krisis, ia adalah proses perencanaan strategis terhadap krisis atau titik balik negatif, sebuah proses yang mengubah beberapa risiko dan ketidakpastian dari keadaan negatif dan berusaha agar organisasi dapat mengendalikan sendiri aktivitasnya (Fearn - Banks, 1996:2).
Mengutip dari Plt. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, atas kesulitannya menangani isu di tengah pesatnya media-media dalam menyampaikan informasi. “Cepatnya pemanfaatan media sosial menyebabkan kita juga kejar-kejaran dengan informasi. Di situlah fungsi kita untuk meluruskan berita yang terkadang tidak proporsional atau tidak tepat atau bersifat sensasional, yang sangat mudah dilemparkan melalui media sosial ke publik,” kata Faiz, seperti dikutip dari laman resmi setneg.go.id.
Ketika Presiden RI, Joko Widodo, menunjuk seorang Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Achmad Yurianto, sebagai juru bicara untuk penanganan Covid-19, adalah langkah yang sangat tepat. Memang, sudah semestinya pemerintah memiliki juru bicara khusus yang memiliki otoritas untuk menyampaikan upaya-upaya pemerintah terkait dengan penanganan Covid-19. Dengan Juru bicara itu, maka pemerintah bisa leluasa menyampaikan rencana dan progres terkait dengan penanganan Covid-19. Tujuannya sederhana, agar masyarakat tidak panik.
Juru bicara dengan kompetensinya diyakini mampu menjalankan tugasnya dalam menangani corona hanya satu pintu, terlebih sebagai rujukan bagi masyarakat, apalagi kini banyak sekali informasi terkait virus itu di media-media sosial. Dalam wikipedia, juru bicara atau bisa juga disingkat jubir adalah seseorang yang diberikan tanggung jawab untuk menerangkan kondisi atau situasi orang lain yang mengutusnya. Peranan jubir dalam lembaga negara sangat penting untuk mewakili lembaga yang dipegangnya dalam konferensi pers, ataupun dalam melakukan wawancara dengan wartawan dan media.
Dalam kbbi.web.id, jubir adalah orang yang kerjanya memberi keterangan resmi dan sebagainya kepada umum; pembicara yang mewakili suara kelompok atau lembaga; penyambung lidah. Tentu saja sebagai jubir, fungsinya adalah menyampaikan informasi tentang kebijakan-kebijakan dan kegiatan organisasinya kepada umum atau publik, baik masyarakat ataupun media massa, agar pihak yang bersangkutan mendapat pengetahuan, pengertian, dan pemahaman tentang organisasi tersebut dengan harapan memberi dukungan. Juru bicara adalah orang yang dipercayakan untuk mewakili manajemen dan organisasi. Apa yang dibicarakan oleh seorang jubir akan mempengaruhi persepsi umum tentang suatu organisasi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menurut pandangan saya, misalnya, sudah menjalankan jubirnya dengan baik. Kerap kali ia tampil di depan publik mewakili organisasinya. Meskipun dalam beberapa kesempatan para pejabat atau petinggi KPK juga memberikan keterangan, tetapi dalam aktivitas komunikasi secara rutin, jubir itu yang senantiasa tampil di depan umum, memberikan keterangan terhadap wartawan, memberikan iformasi terhadap suatu kasus kepada publik terkait kasus yang sedang ditangani. Juru bicara selalu tampil memberikan keterangan kepada umum.
Tidak berlebihan kiranya bila seorang jubir dipilih karena ia cukup mumpuni menguasai masalah yang didukung oleh data dan fakta sebagai bukti pendukung, yang turut pula mendukung ketegasanya saat berhadapan, memberi keterangan dan menjawab para awak media. Maka, seorang jubir, sebelum tampil ia telah memastikan secara detaill faham terhadap konteks permasalahan yang terjadi berkatian dengan organisasi atau informasinya, termasuk garansi yang meyakinkan mana informasi yang pantas atau benar untuk disajikan menjadi informasi publik dan sebaliknya.
Saya yakin, semisal ditunjuknya Achmad Yurianto sebagai jubir penanganan Corid-19, karena ia memiliki kemampuan dan pengalaman dalam memberikan informasi dan mengomunikasikan program, selain berwibawa dalam memberikan keterangan atau informasi serta sikap yang tegas agar pernyataan yang disampaikan tidak simpang siur, mungkin karena ia memiliki pengalaman sebagai dokter militer. Seorang juru bicara dipastikan tidak berbohong atau menutup-nutupi informasi yang harusnya diketahui dengan jelas. Bahkan publik akan melihat gestur, ketika ia menjelaskan informasi atau keterangan pers, salah satunya dari cara dia menyampaikan informasi tersebut.
Menarik bagi saya, saat Achmad Yurianto, sebelum memberi penjelasan sudah mewanti-wanti kepada awak media, mulai dari hal kecil, singkatan-singkatan, istilah-istilah hingga hal-hal lain yang gariskan agar tidak menimbulkan asumsi baru. Meski demikian, secara kasat mata, dari cara pelafalan kalimat cukup jelas dan meyakinkan, diakui atau tidak akan mempengaruhi jiwa publik penerima informasi, itupun bila keutuhan audio visual terjaga, karena terkadang ketika sang jubir terpotong, baik oleh pers, atau karena proses editing. Maka, apapun situasinya, 'pandangan pertama’ jubir bisa membantah itu semua. Intinya, komunikasi verbal dan non-verbal harus tetap terjaga, kalau tidak mau bulan-bulanan menjadi korban perundungan massal dari para pemilik dunia maya berdama medsos.
Kini, jubir Covid-19 sedang menjalankan tugas kemanusiaan. Berhasil tidaknya tugas yang ia emban, tergantung dari reaksi publik. Reaksi publik muncul katika media memerankan dan memfungsikan dirinya dalam menginformasikan, mengedukasi, sekaligus mengontrol kinerja pemerintah.
Kesimpulannya, jadilah jubir yang mampu mengelola isu menjadi sebuah produk informasi yang dikemas secara jujur, indah, dan jantan, sejantan Covid-19. Bukannya ‘halusinasi’. (Yan AS/Diskominfo Garut)