Arteria dan Bahasa Kita
Oleh Darpan, Ketua Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS)
Dalam sepekan ini, hati saya terharu biru. Sebagai orang yang sehari-hari bergelut dengan persoalan-persoalan kebahasaan, terutama bahasa daerah, kabar tentang seseorang yang menista bahasa tak terelakan menghantam kepala. Keharubiruan itu menjadi lebih beriak ketika dalam waktu bersamaan saya juga mendengar berita-berita baik tentang pemuliaan bahasa, terutama terhadap bahasa daerah.
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk memanas-manasi situasi yang memang sudah mendidih. Tulisan ini justru ingin mengajak kita untuk berefleksi. Kejadian yang berlangsung hari-hari belakangan ini sangat berharga buat kita renungkan sebagai orang Sunda khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Kita sejatinya memiliki pondasi
perundang-undangan yang kokoh tentang kebahasaan. Mulai dari konstitusi, hingga
peraturan perundang-undangan turunannya. Kita punya undang-undang yang secara rinci
mengatur bahasa, yang kemudian didedahkan dalam peraturan pemerintah. Pembinaan
dan penggunaan bahasa juga diatur dalam serangkaian aturan yang mengurus dunia pendidikan.
Bahkan di Jawa Barat, pemerintah daerah merasa perlu untuk membuat sebuah
peraturan daerah tentang bahasa.
Ruh dari semua regulasi
kebahasaan itu, hemat saya tergambar dalam jargon Badan Bahasa: “Utamakan
bahasa Indonesia, lestraikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing”. Walaupun
diperlukan penjelasan rinci terkait peran bahasa-bahasa tersebut, namun itulah
rumusan yang paling sederhana dari regulasi kebahasaan di negara kita. Di sana
juga ada peran negara dan rakyatnya, agar ketiga elemen bahasa itu harus seiring
sejalan tanpa harus menegasikan.
Oleh karena itu, ketika Arteria
Dahlan kemudian mengusik persoalan digunakannya sebuah bahasa dalam komunikasi
politik tanpa memperhatikan ruh regulasi itu, resikonya akan sangat besar.
Sialnya, hal itu justru dilakukan di sebuah institusi negara yang tugasnya
antara lain menjaga marwah konstitusi. Reaksi piblik yang muncul dan masif bisa
jadi dipicu oleh sentimen-sentimen permukaan, sementara persoalan substansif
dari kasus ini perlu ditelusuri lebih jauh.
Hal yang paling mendasar untuk
dijadikan renungan terletak pada kesadaran kita memperlakukan bahasa. Artaria yang
mempersoalkan penggunaan bahasa daerah itu pun punya masalah berkaitan dengan
kesadaran ini. Demikian juga publik yang mengecamnya. Walaupun ada sebab akibat
yang memicu dan membuat kasus ini dipergunjingkan, namun kalau mau jujur,
kesadaran kita sebagai bangsa dalam memperlakukan bahasa sering kali keluar
dari ruh regulasinya.
Sebagai contoh, usaha pengutamaan
bahasa Indonesia sering dirusak oleh libido penggunaan bahasa asing yang kurang
perlu bahkan merendahkan martabat bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Celakanya, libido itu di antaranya berasal dari pemerintah sendiri, baik pusat
maupun daerah. Istilah atau kalimat bahasa asing, yang sudah dicari padanannya,
atau dibentuk peristilahannya, atau sangat mungkin untuk di-Indonesiakan, dibiarkan
menjadi polusi di ruang-ruang publik. Nama kompleks perumahan, tempat wisata,
iklan produk, istilah transportasi, aplikasi digital, dan sebagainya yang
menggunakan istilah asing luas bertebaran.
Nasib bahasa daerah lebih parah
lagi. Badan bahasa sempat merilis kabar bahwa setiap sepuluh tahun penutur bahasa
Sunda berkurang sekitar dua juta orang. Ini berbanding terbalik dengan jumlah
populasi di Jabar, provinsi penutur bahasa Sunda, yang terus menanjak. Tahun 2018, Badan Bahasa juga mencatat dalam
beberapa dekade ada 11 bahasa daerah yang mati dan 25 di antaranya terancam
punah. Sungguh gambaran yang sangat suram. Dari 718 bahasa daerah yang kini
tercatat hidup di Nusantara, sebagian mati segan hidup tak mau.
Kabar baiknya, saat sebuah bahasa
daerah dinistakan dalam sebuah konumikasi politik, publik justru bereaksi.
Artinya masih ada rasa memiliki di benak mereka yang kemudian mendorong
kemarahan saat bahasa etnisnya dipersoalkan. Bahkan jika melihat rekasi piblik
yang begitu masif, tergambar bahwa pertama-tama mereka tersinggung kerena unsur
etnisitasnya. Tetapi apakah kemudian mereka yang menghujat Arteria penutur
bahasa Sunda aktif atau justru tak lagi menggunakan bahasa daerahnya, perlu
diselidiki lebih jauh.
Namun demikian tak bisa
dipungkiri jika bahasa Sunda adalah bahasa yang masih relatif bugar. Buku-buku
berbahasa Sunda masih diterbitkan. Bahasa Sunda masih dituturkan atau ditulis
dalam media sosial. Komunitas-komunitas yang mengusung pentingnya bahasa Sunda
digunakan masih bergerak dan mendapat tanggapan. Mata pelajaran bahasa Sunda
masih tercantum dalam kurikulum sekolah dan diajarkan. Kabar terakhir, ada
sineas yang berusaha memuliakan bahasa daerah dengan membuat film-film bioskop
atau film panjang dalam bahasa etnis. Film “Yuni” dan “Nana”, misalnya. Kedua
film yang telah dan akan rilis itu bahkan diganjar penghargaan internasional.
Situasi ini saya kira akan terus
berlangsung untuk jangka waktu yang lama. Masalahnya, kecenderungannya akan
naik atau justru terus menurun? Maka, bangkitnya kesadaran orang Sunda akan
keberadaan entitasnya, akan keberadaan bahasanya, walaupun kemunculannya harus
dipicu lebih dulu oleh sebuah peristiwa penistaan, adalah momentum untuk
membangkitkan kesadaran terhadap pentingnya ruh regulasi bahasa. Lebih jauh,
masyarakat jadi sadar bahwa bahasa adalah penanda jati diri. Bahasa adalah
pendedah kekayaan budaya kita dan karenannya menjadi bagian dari kebudayaan
nasional Indonesia.***